Selasa, 10 April 2012

Pajak rokok 10% dari cukai berlaku tahun 2014




Para produsen rokok harus bersiap merogoh kocek lebih dalam. Rencananya, pemerintah mulai memungut pajak rokok awal tahun 2014, sesuai amanah Undang-Undang Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Tarif pajak yang akan dikenakan sebesar 10% dari tarif cukai rokok. Pemungutan pajak rokok ini akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai. Namun, hasil pemungutan tersebut selanjutnya diserahkan dan menjadi pajak daerah.

Nah, saat ini Ditjen Bea Cukai sedang menyiapkan tata cara dan mekanisme pemungutan pajak rokok ini. Salah satu alternatifnya, pajak rokok dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai. Jadi, ketika produsen rokok membayar setoran cukai rokok, pada saat bersamaan mereka juga akan membayar pajak rokok yang besarnya 10% dari setoran cukai yang mereka bayarkan tersebut.

Sebagai ilustrasi. Taruh kata seorang produsen rokok menyetorkan cukai rokok Rp 100 juta. Ia juga harus membayar tambahan pajak rokok sebesar Rp 10 juta.

Pajak rokok ini dipungut daerah. Sebab, pajak rokok akan menjadi pajak daerah. Namun, karena UU Nomor 28 Tahun 2009 mengamanatkan pemungutan pajak ini ke Bea Cukai, maka Ditjen Bea Cukai mulai menyiapkan mekanismenya.

Dengan begitu, ketika beleid ini diterapkan, proses pemungutan pajak rokok tidak menimbulkan masalah.

Pajak rokok tersebut akan dibebankan kepada produsen rokok.  ujung-ujungnya nanti para produsen rokok pasti akan membebankan pajak tersebut lagi ke konsumen dengan menaikkan harga jual rokok.

Sesuai UU Pajak Daerah dan retribusi Daerah, penerimaan pajak rokok tersebut, baik yang bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, harus dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.




TAMBAHAN :
Produk rokok adalah produk yang dilematis, disatu sisi produk ini dikatakan bermanfaat tapi juga dikatakan berbahaya. Disatu sisi pemerintah sepertinya melarang, membatasi dan mengingatkan akan rokok, tapi cukai rokok dengan senang hati diterima. Sehingga memasarkan produk rokok lama-lama juga akan menghadapi kesulitas. Pemerintah telah menentukan ketentuan bahwa setiap iklan rokok harus mencantumkan peringatan pemerintah. Gerakan anti rokok juga menunjukkan aktivitas yang tak pernah berhenti. Bahkan ketentuan dunia yaitu FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) yang diadopsi oleh seluruh 192 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga memberikan ketentuan ketat tentang pemasarn rokok.
Ada aturan dalam FCTC yang menyebutkan bahwa bungkus rokok harus mencantumkan secara jelas bahaya merokok dan kandungan bahan berbahayanya. Disepakati bahwa peringatan bahaya rokok-dalam bentuk berbagai gambar penyakit dan tulisan bahaya rokok-akan mencakup minimal 30 persen sampai setengah dari permukaan depan bungkus rokok. Pencantuman istilah low, light, mild, dan lain lain yang selama ini menyesatkan, tidak boleh digunakan lagi. Soalnya, sebenarnya tidak ada penurunan bahaya yang bermakna dengan penurunan kadar tar dan nikotin dengan cara ini. Istilah itu hanya memberi kesan rokok “aman” sehinggga si perokok cenderung merasa “boleh” merokok dan bukan tidak mungkin akan mengonsumsi rokok lebih banyak lagi karena merasa mengisap rokok “ringan”. FCTC juga melarang segala bentuk iklan rokok, langsung atau tidak langsung. Kenyataan menunjukkan, banyak sekali remaja mulai merokok akibat melihat iklan, apalagi yang diperankan oleh wanita cantik atau pria gagah. Maka yang perlu diingatkan adalah merokok akan menimbulkan kulit keriput, bukan kecantikan. Merokok pun memicu sakit paru dan jantung, bukan kegagahan.


A.  PERMASALAHAN :
1.    Apa tujuan utama dari pengenaan pajak rokok?
2.    Apa perbedaan pajak rokok dan cukai rokok?
3.    Bagaimana penerapan alokasi pajak rokok?
4.    Bagaiman tata cara dan mekanisme pemungutan pajak rokok ini?


B.  ANALISA DAN PEMBAHASAN

1.    TUJUAN PAJAK ROKOK
Pajak merupakan sumber utama untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Secara umum tujuan adanya pajak adalah sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke Kas Negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. memperoleh dana yang digunakan untuk pembangunan, pertahanan negara, kesejahteraan dan pelayanan umum masyarakat serta biaya rutin administrasi negara. Selain untuk tujuan umum, pajak dapat pula digunakan oleh pemerintah sebagai alat mencapai untuk tujuan-tujuan tertentu (regulerend), seperti membatasi dan mengurangi konsumsi barang yang berdampak negatif secara sosial salah satunya bahaya rokok.

Tujuan utama penerapan pajak rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok. Penerapan pajak rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat. Seperti diketahui bahwa rokok, membawa dampak kesehatan yang tidak baik bagi perokok itu sendiri maupun orang lain. Pemerintah daerah berkewajiban untuk menjaga kesehatan masyarakat. Selain itu pemda juga harus melakukan pengawasan terhadap rokok di daerah masing-masing termasuk rokok ilegal. Dengan pajak rokok maka kewajiban pemerintah untuk mengoptimalkan kesehatan masyarakat bisa menjadi lebih baik.


2.    PERBEDAAN PAJAK ROKOK DAN CUKAI ROKOK
Pajak Rokok memiliki Dasar Pengenaan Pajak yang berbeda dengan cukai rokok, dimana Dasar Pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. Sedangkan Dasar pengenaan Cukai Rokok adalah Harga Dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia adalah Harga Jual Pabrik atau Harga Jual Eceran.
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajaknya. Sedangkan pada Cukai Rokok pemerintah menerapkan besarnya cukai rokok terutang dengan sistem kombinasi, yaitu menggunakan tarif spesifik dan tarif advalorum. Tarif advalorum artinya cukai dihitung sekian persen dari harga per bungkus rokok. Harga per bungkus tersebut sesuai yang tercantum pada bungkus rokok. Sedangkan tarif spesifik artinya cukai dihitung sekian persen dari harga rokok per batang. Apabila menggunakan sistem kombinasi, maka hasil perhitungan tarif advalorum dan tarif spesifikasi digabungkan.

3.    PENERAPAN ALOKASI PAJAK ROKOK
Dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 lahir kebijakan untuk alokasi khusus untuk mengendalikan bahaya rokok (earmarking tax), seperti dalam pasal 31 disebutkan bahwa penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Melalui kebijakan alokasi ini, daerah dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan perbaikan (sustainable development) kualitas pelayanan publik di daerahnya.
Penerimaan Pajak Rokok dialokasikan untuk mendanai bidang pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok).
Penerimaan Pajak Rokok juga dialokasikan untuk mendanai bidang penegakan hukum terkait rokok illegal, yaitu rokok yang dalam tahap produksinya tidak terdaftar sehingga tidak membayar Cukai rokok. Dalam pelaksanaannya, pajak rokok akan ditandai dengan adanya semacam stiker atau pita cukai tambahan yang dilekatkan pada masing-masing bungkus rokok. Distributor wajib menyampaikan laporan yang berisi jumlah rokok yang akan dijual kepada pemerintah provinsi.
Rokok yang beredar di satu provinsi akan berbeda dengan provinsi lainnya, lantaran memiliki stiker atau pita cukai tambahan yang berlainan. Pengawasan peredaran rokok akan langsung dilakukan oleh pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Tugas ini bisa diserahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dibantu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

4.    TATA CARA DAN MEKANISME PEMUNGUTAN PAJAK ROKOK

Saat ini Ditjen Bea Cukai sedang menyiapkan tata cara dan mekanisme pemungutan pajak rokok ini. Salah satu alternatifnya, pajak rokok dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai. Jadi, ketika produsen rokok membayar setoran cukai rokok, pada saat bersamaan mereka juga akan membayar pajak rokok yang besarnya 10% dari setoran cukai yang mereka bayarkan tersebut.
Pajak rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah disetor ke rekening kas umum daerah secara proporsional.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan



C.      PENUTUP

1. KESIMPULAN
Tujuan utama penerapan pajak rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok. Penerapan pajak rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat.
Pajak Rokok tidak bisa dikatakan pajak berganda atau double taxation. Dilihat dari dasar penghitungannya, Pajak Rokok berbeda dengan Cukai Rokok. Dasar pemungutan Pajak Rokok dikenakan atas besaran cukai, sedangkan dasar pemungutan cukai adalah terhadap produk rokok. Pajak berganda baru akan terjadi jika Pajak Rokok dikenakan terhadap produk rokok. Sedangkan jika dilihat dari alokasi penerimaan, terdapat perbedaan antara Pajak Rokok dan Cukai Rokok, Pajak Rokok dipungut oleh Pemerintah daerah dan sepenuhnya masuk ke kas Pemerintah daerah. Sementara cukai rokok yang diterapkan selama ini,adalah pajak yang peruntukannya untuk Pemerintah Pusat.
Melalui kebijakan alokasi yang ada di dalam Pajak Rokok setiap daerah akan dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan perbaikan dan peningkatan (sustainable development) kualitas pelayanan publik di daerahnya secara nyata. Terutama di bidang pelayanan kesehatan dan penegakan hukum terkait rokok illegal.
Salah satu alternatif tata cara dan mekanisme pemungutan pajak rokok dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai.

2.REKOMENDASI
UNTUK PEMERINTAH :
Sebelum Pajak Rokok diimplementasikan pada tahun 2014, pemerintah diharapkan secepatnya mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara teknis penghitungan (besaran pajak), pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Karena pajak Rokok merupakan jenis pajak baru, maka harus dilakukan evaluasi dan persiapan yang matang untuk masing-masing daerah supaya bisa menerapkan pajak ini dengan baik. Tidak boleh dilupakan esensi bahwa ini adalah pajak daerah jadi daerah diharuskan sudah dapat memungut pajak daerahnya sendiri, tidak tergantung pada Pemerintah Pusat.
UNTUK PERUSAHAAN ROKOK :
Membahas masalah rokok memang menarik karena rokok merupakan aset negara atau merupakan pemasukan negara yang cukup besar walaupun itu banyak merugikan masyarakat menurut saya, tetapi masyarakat tidak akan memikirkan betapa merugikannya sebuah rokok itu dan rokok sangat diminati oleh masyarakat luas mulai dari kalangan kecil sampai ke atas. Jadi perusahaan rokok sangat pandai dalam memasarkan produk – produknya tersebut dan sangat tepat apabila dipasarkan di masyarakat Indonesia.
Tetapi perusahaan rokok sendiri harus melihat apakah rokok yang dibuat itu dapat membahayakan masyarakat atau tidak apabila dapat membahayakan harus secepatnya dikurangi besar nikotin yang dikandung dari rokok tersebut karena produk rokok tidak bisa dihentikan begitu saja karena merupakan aset negara. Sehingga perusahaan rokok harus menemukan produk terbaru yang tidak begitu membahayakan masyarakat luas, mungkin dengan membuat rokok yang dari bahan rempah – rempah atau buah-buahan ya seperti di Negara arab walaupun berupa rokok tapi itu tidak membahayakan kita sebagai perokok.
Produk tersebut kemungkinan tidak akan kalah dengan produk sebelumnya karena produk yang baru ini berasal dari bahan – bahan yang sehat dan baik serta tidak mengandung nikotin. Jadi itu merupakan saran yang tepat bagi perusahaan rokok.

Senin, 09 April 2012

MAKALAH SUMBER DAN ASAS HUKUM ADAT


BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal dan menggunakan istilah tersebut.
Adat-istiadat yang hidup didalam masyarakat erat sekali kaitannya dengan tradisi-tradisi rakyat dan ini merupakan sumber pokok dari pada hukum adat. Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, mengatakan bahwa adat adalah tingkah laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat ini ada yang tebal dan ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku didalam masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan merupakan aturan hukum.

1.2       Rumusan Masalah
1.Apakah pengertian dari hukum adat ?
2.Bagaimanakah sumber-sumber dari hukum adat ?
3.Bagaimanakah asas-asas pokok dari hukum adat ?

1.3       Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini agar :
1.Untuk mengetahui apa pengertian dari hukum adat
2.Untuk mengetahui bagaimanakah sumber-sumber dari hukum     adat
3.Untuk mengetahui asas-asas pokok dari hukum adat

BAB II
PEMBAHASAN

              Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda “Adat Recht”, yang pertama sekali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yang kemudian dipakai dalam bukunya “De Atjehers” (orang-orang Aceh). Istilah Adat-Recht ini kemudian dipakai pula oleh van Vollenhoven yang menulis buku pokok tentang Hukum Adat yaitu “Het Adat-Recht van Nederlandsch Indie” (Hukum Adat Hindia-Belanda).

2.1         Pengertian Hukum Adat
Dalam arti sempit sehari-hari yang dinamakan Hukum Adat ialah Hukum asli yang tidak tertulis yang memberi pedoman kepada sebagian besar orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara satu dengan lainnya baik di desa maupun di kota.
Di samping bagian tidak tertulis dari hukum asli ada pula bagian yang tertulis yaitu: Piagam, perintah-perintah Raja, patokan-patokan pada daun lontar, awig-awig (dari Bali), dan sebagainya.
Di banding dengan yang tidak tertulis, maka bagian yang tertulis ini adalah kecil (sedikit), tidak berpengaruh dan sering dapat diabaikan.
1.    Ter Haar.
Ter Haar membuat dua perumusan, yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan Hukum Adat itu, yaitu:
Pertama: Dalam pidato dies tahun 1930, dengan judul “Peradilan Landraad berdasarkan hukum tak tertulis. Hukum Adat lahir dari dan diperlihara oleh keputusan-keputusan; keputusan para warga masyarakat umum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal pertentangan kepentingan, keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan seapas-seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya.
Kedua, Dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek, “Hukum Adat Hindia Belanda di dalam ilmu, praktek dan pengajaran”
 Hukum adat itu dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan Desa, surat-surat perintah Raja adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Fungsionaris di sini terbatas pada dua kekuasaan yaitu Eksekutif dan Yudikatif. Dengan demikian Hukum Adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan dilihat dalam keputusan-keputusan fungsionaris hukum itu; bukan saja hakim tetapi juga Kepala Adat, rapat desa, wali tanah, petugas-petugas desa lainnya. Keputusan itu bukan saja keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi, tetapi juga di luar itu berdasarkan kerukunan (musyawarah). Keputusan-keputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rokhani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu. Dalam perumusan Ter Haar ini tersimpul ajaran Beslissingenleer (ajaran keputusan).
2.    Van Vollenhoven.
Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu: “Hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu “Adat”).
Positif yaitu hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan kini. Sanksi yaitu reaksi/konsekuensi dari pihak lain atas pelanggaran suatu norma (hukum). Kodifikasi yaitu pembukuan sistematis suatu daerah/lapangan/bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (yang diatur segala unsurnya) dan tuntas (yang diatur semua soal yang mungkin timbul).


3.    Supomo.
Supomo di dalam “Beberapa catatan mengenai kedudukan Hukum Adat” menulis antara lain: Dalam tatahukum baru Indonesia baik kiranya guna menghindarkan salah pengertian, istilah Hukum Adat ini dipakai sebagai sinonim dari:
1.    Hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif (non-statutory law);
2.    Hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan-dewan Propinsi dan sebagainya);
3.    Hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judgemade law);
Hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa (customary law).
Dari uraian di atas, Supomo melepaskan perhatian terhadap hal-hal atau bagian-bagian yang tertulis dan memahamkan Hukum Adat itu sebagai hukum yang tidak tertulis dalam arti hukum kebiasaan yang tidak tertulis.


2.2         Sumber Hukum Adat
Dalam membicarakan sumber hukum (Adat) dianggap penting terlebih dahulu dibedakan atas dua pengertian sumber hukum yaitu Welbron dan Kenbron.
Welbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti yang sebenarnya. Sumber Hukum Adat dalam arti Welbron tersebut, tidak lain dari keyakinan tentang keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Dengan perkataan lain Welbron itu adalah konsep tentang keadilan sesuatu masyarakat, seperti Pancasila bagi masyarakat Indonesia.
Sedangkan Kenbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti dimana hukum (adat) dapat diketahui atau ditemukan. Dengan lain perkataan sumber dimana asas-asas hukum (adat) menempatkan dirinya di dalam masyarakat sehingga dengan mudah dapat diketahui.
Kenbron itu merupakan penjabaran dari Welbron. Atas dasar pandangan sumber hukum seperti itu, maka para sarjana yang menganggap hukum itu sebagai kaidah berpendapat sumber hukum dalam arti Kenbron itu adalah:
1.      Adat kebiasaan.
2.      Yurisprudensi.
3.      Norma-norma Hukum Islam yang telah meresap ke dalam Adat istiadat masyarakat indonesia asli.
4.      Kitab-kitab Hukum Adat.
5.      Buku-buku Standar tentang Hukum Adat.
6.      Pendapat Ahli Hukum Adat.
Dengan demikian hukum adat dapat ditemukan baik dalam adat kebiasaan maupun dalam tulisan-tulisan yang khusus memuat/membicarakan hukum adat. Tulisan itu mungkin fakta hukum atau mungkin pula merupakan pandangan dari para ahli hukum adat.



2.3         Asas-asas Pokok dalam Hukum Adat
              2.3.1      Asas-Asas  Hukum Adat Indonesia
Hukum adat kita mempunyai asas-asas tertentu adapun asas-asas yang terpenting adalah :
1.       Asas Religius - Magis
Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.
Arti Religius Magis adalah :
1.    Bersifat kesatuan batin
2.    Ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
3.    Ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan makluk-makluk halus lainnya.
4.    Percaya adanya kekuatan gaib
5.    Pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang
6.    Setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara relegieus
7.    Percaya adanya roh-roh halus, hatu-hantu yang menempati alam semesta seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu dan lain sebagainya.
8.    Percaya adanya kekuatan sakti dan adanya beberapa pantangan-pantangan.


2.       Asas Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan.
Secara singkat arti dari Komunal adalah :
a). Manusia terikat pada kemasyarakatan tidak bebas dari segala perbuatannya.
b). Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya
c). Hak subyektif berfungsi sosial
d). Kepentingan bersama lebih diutamakan
e). Bersifat gotong royong
f). Sopan santun dan sabar
g). Sangka baik
h). Saling hormat menghormati

3.       Asas Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan.
Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.
4.       Asas  Kontan
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.
5.       Asas Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud.
Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.

              2.3.2      Dasar Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi :
“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
              2.3.3      Pembidangan Hukum Adat
Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat berbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabila dibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut biasanya dapat diketemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika buku-buku tersebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana yang dianut oleh penulisnya. 


BAB III
P E N U T U P
3.1         Kesimpulan
Hukum Adat ialah Hukum asli terbagi atas dua bagian yakni ada yang tidak tertulis dan ada yang tertulis. Selanjutnya sumber hukum adat dalam pengertiannya dibedakan menjadi dua sumber hukum yaitu Welbron dan Kenbron. Sementara asas-asas dari hukum mempunyai corak tersendiri yakni Corak Religio Magis (Magisch-Religieus), Corak Komunal atau kemasyarakatan, Corak Demokrasi, Corak Kontan, dan Corak Konkrit

3.2         Saran – Saran
Kepada semua rekan-rekan mahasiswa agar dalam mempelajari hukum adat perlulah pemahaman yang lebih mendalam agar supaya dapat lebih mengetahui hakikat daripada hukum adat itu sendiri.

DEFINISI ARTI KEJAHATAN

Menurut B. Simandjuntak kejahatan merupakan “suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.” Sedangkan Van Bammelen merumuskan:
Kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.
diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis
dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian
kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undangundang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah
perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat
merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan
ketertiban.

J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial
yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam
masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara
harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.

M.A. Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam
masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat
dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.

W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat
anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian
penderitaan.

Menurut Paul Moedikdo Moeliono kejahatan adalah perbuatan pelanggaran
norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan
yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).

J.E. Sahetapy dan  B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks Dalam
Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu,
merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas
dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun
pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu
perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.